Jack Lord, sarjana Cum Laude jadi tukang pel, memang kenapa ?

Monday, May 10, 2010
Masyarakat saat ini benar-benar terperangah oleh sebuah fenomena seorang Jack Lord, lulusan sebuah perguruan tinggi yang menjadi tukang pel di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Riau. Pandangan yang ada dimasyarakat bahwa seorang sarjana tidak layak untuk menjadi tukang pel merupakan sebuah anggapan yang muncul dari paradigma mental ‘priyayi’ yang telah di tanamkan oleh penjajah setengah abad yang silam. Seorang sarjana seharusnya bekerja pada bidang-bidang yang ‘halus’ bukan pada sector yang ‘kasar’ seperti tukang pel. Dampak dari cara pandang ini, banyak para sarjana yang enggan untuk bekerja pada sector yang ‘kasar’, mereka rela membawa ijazahnya ke mana-mana untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak sebagai seorang sarjana, jumlah sarjana setiap tahun semakin bertambah, sementara di sisi lain pertambahan jumlah sarjana tidak seimbang dengan pertambahan jumlah lapangan kerja yang ada, sehingga banyak para sarjana yang menganggur akibat mempertahankan idealismenya untuk mendapatkan pekerjaan yang ‘halus’.
Mereka enggan untuk menjadi BOS bagi dirinya sendiri dan calon BOS bagi orang lain, yaitu dengan mendirikan lapangan pekerjaan sendiri, banyak yang beralasan karena kurang pengalaman dan sebagainya. Dengan mendirikan usaha minimal bisa membuka lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri, dan jika usahanya berkembang tentu akan manjadi lahan pekerjaan bagi orang lain. Menurut beberapa pakar bisnis termasuk Jusuf Kala, untuk menjadi negara yang maju Indonesia setidaknya memerlukan pengusaha 10 % dari pupulasi yang ada sekarang, sementara pepulasi pengusaha yang ada baru 2% saja dari pupulasi keseluruhan penduduk Indonesia.
Terlepas dari polemik yang ada, permasalahan ini patut untuk di sampaikan kepada yang bersangkutan, yaitu ke pribadi Jack Lord sendiri, kalau dia merasa enjoy dengan pekerjaannya dan dengan kemampuannya sebagai seorang sarjana cumlaude bisa memperbaiki system yang terkait dengan pekerjaannya sekarang kenapa tidak di teruskan saja ? Kecuali jika Jack Lord memang merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya sekarang, tentu perlu dipertimbangkan adanya perpindahan tugas pada diri Jack Lord.



Mushola di Mall

Tuesday, January 5, 2010
Liburan tahun baru kemarin, kami sekeluarga memilih silaturahim dengan orang tua di Klaten. Di sela-sela silaturahim, istri mengajak jalan-jalan ke Plasa Klaten, disana ada salah satu tenant yang cukup di kenal masyarakat yaitu matahari.

Pengunjungnya cukup ramai, perkiraan pengunjung saat itu sekitar seribuan orang. Kami lihat banyak discount yang di tawarkan, mulai dari 20 % - 70 % dan juga ada yang disount 20 ribu + 50 %. Istri saya memilih-milih baju kemeja untuk d hadiahkan kepada saya ( seneng juga punya istri yang suka memberi hadiah tiba-tiba), tapi dengan halus saya menolaknya. Menurut saya harga di sana walaupun sudah discount 50% tetap saja mahal apalagi merknya bukan dalam negeri, lebih baik beli di klewer atau PKL, kemanfaatannya jelas karena bisa menggerakkan ekonomi kecil. Akhirnya kami tidak jadi untuk berbelanja.

Puas kami melihat-lihat barang untuk sekedar survei harga, kamipun bersegera menuju mushola untuk menunaikan sholat magrib. Tiba di mushola, betapa heran dan kaget saya.. pintu utama untuk masuk ke mushola satu pintu dengan pintu masuk ke toilet wanita, dengan prasangka baik saya tetap masuk menuju mushola. Sampai di mushola, alangkah sedih dan miris hati ini... luas mushola mungkin sama dengan luas toilet ! hanya cukup untuk 3 orang, dan ruangan tepat di sebelah depan mushola berjajar beberapa toilet wanita. Sepertinya ruangan mushola tersebut memang tidak di desain untuk sholat, hal ini terlihat interior ruangannya yang sama persis dengan interior toilet.



Betapa sangat kontras dengan suasana di luar, bangunan 3 lantai yang sangat luas dan bersih. Setiap sudut ruangan di penuhi dengan orang yang sedang melakukan transaksi.Tetapi, musholanya sangat mengenaskan ! Dan cenderung mengarah pada penghinaan sebuah mushola yang di sucikan kaum muslimin. Apa susahnya membuatruangan untuk mushola yang layak dengan bangunan sebesar itu ? Bukankah mushola tersebut di butuhkan para konsumen dan karyawan di situ ?

Saya tidak tahu apakah sebagian besar mall memang begitu kondisinya ..?

Sebuah masukan untuk pihak berwenang, dalam hal ini pemda/pemkot :
Hendaknya ketika perijinan pendirian mall di ajukan, di lihat dulu site plan untuk publik area terutama mushola. Pastikan bahwa mushola ada dalam site plan yang di usulkan.

Saya jadi teringat dengan sebuah mall di Bandung yang kami kunjungi saat milad TDA ke-3, menurut saya mall tersebut benar-benar fonomenal. Bangunannya cukup megah, terdiri 6 lantai, karyawannya semua berbusana rapi dan menutup aurat. Diluarnya terlukis 99 Asmaul Husna. Nama mall tersebut adalah Abdurrahman bin 'Auf Trade Center (ATECE). Pemiliknya bernama H Alay, pengusaha pribumi asal Bikittinggi. Info tentang ATECE ada di sini : http://www.tangandiatas.com/print.php?ar_id=180
Seandainya setiap kota ada mall seperti ATECE tentu akan menjadi alternatif utama bagi muslimin untuk berbelanja.

Ini kesempatan emas, ayo siapa yang ikut mendaftar menjadi Owner Mall Islami ..? Di buka lowongan untuk menjadi Owner Mall megah dan Islami, bersedia menempati di setiap kota di Indonesia.